Search

Balas Dendam Marx, Bagaimana Kaum Milenial Menjadi Marxis?

Suara.com - Marxisme dianggap bangkrut tepat ketika Uni Soviet lenyap dan tembok Berlin dihancurkan, nyaris 2 dekade lalu. Tapi, kekinian, tepat ketika krisis global semakin parah, menjadi seorang Marxis kembali menjadi tren bahkan terkesan “seksi”.

Bulan Mei, dua ratus tahun silam, Karl Marx lahir di tepi sungai Moselle, kota Trier, Jerman. Orok yang nantinya mengguncang dunia itu lahir tanggal 5 Mei 1818.

Dua abad setelahnya, Mei 2018, Youssef El-Gingihy secara kebetulan diundang ke pesta pernikahan di Jerman. Persisnya di kawasan yang dulu dikenal sebagai “Karl Marx Stadt”, Kota Karl Marx, Jerman Timur. Kekinian, daerah itu bernama kota Chemnitz.

Namun, menurut kesaksian penulis buku yang membongkar kebobrokan “BPJS Inggris” tersebut, “How to Dismantle the NHS in 10 Easy Steps” (2015), Marx tak pernah benar-benar dibuang oleh warga setempat maupun dunia.

“Komunisme mungkin secara resmi runtuh dengan kejatuhan Uni Soviet, tapi filsafat Marx, beserta teori sosialnya, belum padam,” tulisnya dalam artikel “Karl Marx 200th anniversary: The world is finally ready for Marxism as capitalism reaches the tipping point”, Independent, Jumat (4/5/2018).

China, negara yang paling padat penduduknya di dunia dan kekinian disebut sebagai negara adi kuasa baru, masih mengklaim sebagai negara sosialis, meski secara praktik menjalankan kapitalisme.

Pada era milenium, peta politik di Amerika Latin justru semakin bergerak ke kiri. Dimulai dari terus bertahannya Kuba pada Sosialisme, kemenangan mendiang Hugo Chaves di Venezuela dan kekinian diteruskan Presiden Nicolas Maduro, membuat banyak warga negara-negara lain di kawasan itu memilih tokoh Marxis sebagai presiden.

Ketika Donald Trump gencar berpromosi menjadi calon presiden Amerika Serikat pada tahun 2016, seorang senator Bernie Sanders yang sejak lama mengaku sebagai sosialis, bertekad melawan kubu konservatif Republik. Namun, langkah Bernie menjadi capres melawan Trump gagal karena skandal konvensi Partai Demokrat.

Daratan Inggris, tempat Marx menghabiskan hidupnya dalam pelarian, Marxisme dan Sosialisme semakin tumbuh kembang. Jeremy Corbyn, tokoh oposisi paling berpengaruh kekinian, tak malu-malu mengaku sebagai pengikut Marx.

“Sosialisme bukan lagi kata-kata kotor dan igauan kalau disebutkan dalam setiap konvensi atau debat parlemen. Kami bertujuan menjadikan Inggris negara sosialis,“ tutur anggota sayap kiri parlemen Inggris tersebut.

Berkat pidato-pidato dan promosi Sosialisme-nya, Jeremy Corbyn dan faksi kiri Partai Buruh mampu meraup 40 persen suara pemilih dalam pemilu terakhir.

Nun di seberang, Prancis, tempat Marx melahirkan banyak karya-karya filosofis, terdapat Jean Luc Mélenchon, yang tampil mengejutkan dengan merebut 20 persen suara pemilih dalam putaran pertama pemilu.

Sedangkan di Yunani, pemerintah sayap kiri Syriza tetap berkuasa, meskipun manifestonya telah dihancurkan oleh modal keuangan internasional. Mantan menteri keuangan dan penggagas perubahan Yunani, Yanis Varoufakis, menggambarkan dirinya sebagai seorang Marxis yang pincang.

Tulisan terakhirnya yang ditulis di The Guardian, mengutip analisis Marx sebagai kunci untuk memahami kesulitan kita saat ini dan jalan keluarnya.

[The Guardian]

Kapitalisme Milenial

Tahun 2011, ketika seseorang dianggap berdosa kalau mengaku sebagai Marxis, profesor sekaligus teoritikus sastra kenamaan dunia asal Oxford University, Terry Eagleton mengatakan “Nabi berjenggot (Marx) itu benar.”

Kekinian, Terry tak lagi sendirian. Selain tokoh-tokoh yang sudah mengemuka, kaum muda milenial di Inggris maupun banyak negara Eropa lainnya justru sependapat dengannya.

“Minat kaum muda di berbagai benua untuk mempelajari Marxisme dan Sosialisme dibuktikan dengan fakta pada 2015, sosialisme adalah kata yang paling dicari di kamus daring Merriam Webster. Sosialisme tidak membawa beban historis bagi generasi muda yang ditinggalkan oleh kedurhakaan kapitalisme,” tulis Youssef El-Gingihy.

Bahkan, tulisnya, sebuah penelitian di Harvard menemukan fakta bahwa mayoritas kaum milenial menolak kapitalisme dan beralih mendukung sosialisme.

“Inilah yang mungkin disebut balas dendam Marx. Kaum muda merehabilitasi salah satu filsuf terbesar dalam sejarah dunia,” tambahnya.

Sosiolog Wolfgang Streeck, bahkan berani mengumumkan bahwa “Kita memasuki zaman poskapitalisme.”

Sementara Slavoj Zizek—filsuf paling berbahaya di Barat kontemporer menurut majalah bergengsi AS, The New Republic—memproklamasikan diri sebagai seorang komunis. Salah satu bukunya yang terbit baru-baru ini, ”Living in the End Times” (2010), memunculkan perasaan apokaliptik dari pergolakan kematian kapitalisme.

Youssef El-Gingihy dalam tulisannya mengakui, ide-ide Marx sudah sejak lama didiskreditkan lantaran keruntuhan Uni Soviet dan dimasukkan tong sampah gara-gara pemikiran Leon Trotsky—orang yang mengklaim diri sebagai Marxis tulen.

Sejak itu, seorang pemikir bernama Francis Fukuyama bahkan menegaskan, keruntuhan komunisme adalah sejarah yang tak terhindarkan dan akhir sejarah ditandai oleh kemenangan kapitalisme serta demokrasi liberal.

Namun, krisis keuangan global pada tahun 2008 menjungkirbalikkan deklarasi Fukuyama tersebut.

”Krisis keuangan global tahun 2008 adalah lonceng kematian bagi ideologi-ideologi yang menganggap Marx salah. Neoliberalisme beserta krisis ekonomi yang inheren padanya membuat orang berpikir orang, kini siapakah yang dianggap seorang utopis?” tulis Youssef.

Neoliberalisme selalu hadir dan mengklaim diri sebagai sistem perekonomian yang tak terkait politik. Sebaliknya, neoliberalisme selalu diklaim pembelanya sebagai sebuah hukum alam yang menjadi keniscayaan dalam sejarah manusia modern.

”Namun, beragam eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan multinasional di banyak negara, membuktikan hal itu tak bakal berjalan tanpa campur tangan politikus, pemerintah,” tulis Youssef.

[The Guardian]

Keterasingan

Selain krisis global yang secara rutin terjadi dalam sistem ekonomi politik neoliberal, rumusan Marx bahwa “kesadaran seseorang ditentukan oleh cara produksi perekonomian” juga tampak ada benarnya pada era kekinian.

Marx, tulis Youssef, mendefisikan terdapat “alienasi” atau “keterasingan” setiap manusia di bawah corak produksi kapitalisme.

“Individualisme, itulah karakter manusia yang penuh keterasingan dan merupakan hasil hidup dalam sistem kapitalisme. Sampai hubungan intim pun orang menjadi egois,” terangnya.

Bahkan, hubungan-hubungan yang sakral tak luput dari eksploitasi dan menjadi barang dagangan pada sistem kapitalisme.

“Pornografi online, media sosial, dan aplikasi kencan hanyalah ekstrapolasi terbaru dari komodifikasi yang tak kenal lelah ini. Agama juga tak luput dari komodifikasi mereka. Semua ini membuat setiap individu kekinian menjadi orang yang terasing satu sama lain, hidup dalam kesepian.”

Selain itu, Youssef juga memberikan bukti lain bahwa apa yang dua abad silam dituliskan Marx, mendapat kebenarannya, yakni semakin melebarnya ketimpangan.

Ia mengungkapkan, angka-angka terbaru menunjukkan bahwa delapan miliarder terkayat di dunia memunyai kekayaan sebesar setengah populasi dunia, atau sekitar 3,5 miliar orang.

Dari mana kekayaan mereka? ”Dari pencurian nilai lebih kaum pekerja dan eksploitasi kekayaan alam negara-negara dunia ketiga,” tuturnya.

”Krisis di kalangan pemilik modal, meski jarang diberitakan, juga sebenarnya terus terjadi. Merger semakin merebak. Pemilik modal yang kalah akhirnya tergerus dan memunculkan monopoli di segelintir orang. Sentralisasi modal dunia yang melahirkan krisis ekonomi rutin dan membuat kapitalisme ini sudah diprediksi Marx pada 150 tahun silam,” tambahnya.

”Dengan kata lain, sejak diprediksi Marx pada tiga abad lampau, ternyata kapitalisme kekinian terus menggali lubang kuburnya sendiri.”

Let's block ads! (Why?)

https://www.suara.com/news/2018/05/27/174828/balas-dendam-marx-bagaimana-kaum-milenial-menjadi-marxis

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Balas Dendam Marx, Bagaimana Kaum Milenial Menjadi Marxis?"

Post a Comment


Powered by Blogger.