Suara.com - Sebagai jurnalis magang, Anthony berharap bisa membuat artikel bagus untuk melambungkan namanya. Tapi, ia tak pernah menyangka, bakal menuliskan berita mengenai dirinya sendiri saat seseorang melepaskan tembakan membabi buta di redaksi Capital Gazette.
Seorang pria bersenjata senapan dan granat asap menyerbu masuk ke ruang redaksi dari jaringan surat kabar maupun daring Capital Gazette, di Maryland, Amerika Serikat, Kamis (28/6/2018) sore.
Serbuan itu menewaskan lima anggota staf redaksi, melukai dua lainnya, dan mendorong lembaga penegak hukum di seluruh negeri untuk memberikan perlindungan di kantor-kantor media massa.
Serangan teror itu diliput secara langsung oleh sejumlah jurnalis Capital Gazette di ruang redaksi.
Tersangka, diidentifikasi oleh dua aparat penegak hukum sebagai Jarrod W Ramos (38), yang berhasil ditahan di tempat kejadian.
Ramos memiliki sejarah panjang konflik dengan Capital Gazette, yang menghasilkan sejumlah surat kabar lokal di sepanjang pantai Maryland.
Ia pernah menuntut jurnalis media itu atas tuduhan pencemaran nama daik dan melancarkan propaganda anti-Capital Gazette di media sosial.
"Ini adalah serangan yang ditargetkan pada Capital Gazette," kata Penjabat Kepala Departemen Kepolisian Anne Arundel, seperti diberitakan The New York Times. “Orang ini siap untuk menembak orang. Niatnya adalah untuk menyebabkan kerusakan. "
***
Anthony Messenger bersembunyi di salah satu sudut terlindungi di ruang redaksi saat penembakan itu terjadi. Beruntung, ia masih sempat menggenggam ponselnya.
Nalurinya sebagai jurnalis tetap bekerja. Ia segera membuka akun Twitter miliknya, menuliskan alamat gedung Capital Gazette dan membubuhkan kalimat: “Tolong bantu kami, redaksi Capital Gazette diserang!”
Phil Davis, jurnalis gugus tugas kriminalitas, juga terjebak di ruang redaksi saat Ramos memuntahkan pelurunya.
Ia merunduk, meringkuk di bawah meja kerjanya. Davis mendengar pekik histeris staf redaksi lain, ketika Ramos menembak dari arah pintu masuk ruang tersebut.
"Tidak ada yang lebih menakutkan daripada mendengar banyak orang tertembak, ketika Anda berada di bawah meja Anda sendiri dan kemudian mendengar lelaku bersenjata itu kembali," tutur Davis.
Davis menuturkan, untuk sebuah negara yang telah mati rasa terhadap penembakan massal, ini adalah sebuah front baru. Sekolah telah menjadi target yang sering, dengan mahasiswa sampai anak TK yang menjadi korban.
Sebuah bioskop pun pernah menjadi sasaran. Gereja juga. Tapi di AS, serangan teror terhadap kantor media massa adalah langka.
Apalagi, Capital Gazette termasuk media massa tertua di AS, yang sudah berdiri sejak era 1700-an.
Dalam laman daringnya, Capital Gazette juga membanggakan diri karena ikut berjuang melawan pahak prangko, yang membantu memicu Revolusi Amerika.
“Pria bersenjata itu diam ketika mengintai ruang berita, berhenti sekali untuk kembali ketika para wartawan meringkuk ketakutan di bawah meja mereka, termasuk aku,” kata Davis dalam wawancara via telepon.
Begitu polisi tiba, anggota staf meletakkan tangan mereka di udara dan berteriak, "Kami bukan dia," kenang Davis. Pria bersenjata itu bersembunyi di bawah meja ketika polisi pindah. Ramos tak melepaskan tembakan ketika polisi menyeruak masuk.
“Dia tidak memiliki cukup peluru untuk kami,” kata Davis.
Setelah penangkapannya, Ramos menolak bekerja sama dengan pihak berwenang atau memberikan namanya.
“Dia baru teridentifikasi ketika polisi menggunakan teknologi pengenalan wajah,” kata seorang pejabat kepolisian.
Awal Dendam
Pada bulan Juli 2012, Ramos mengajukan gugatan pencemaran nama baik di Pengadilan Prince George, Maryland terhadap Capital Gazette Communications.
Ramos menuntut editor, mantan wartawan, dan perusahaan Capital Gazette karena mengklaim nama baiknya telah dirusak.
Sebabnya, Ramos menuding surat kabar itu menerbitkan cerita mengenai kasus pelecehan yang menyeret namanya pada tahun sebelumnya.
Namun, dalam sidang perdana pada Maret 2013, hakim Maureen M Lamasney menyatakan tuntutan Ramos tak bisa dilanjutkan. Ramos dianggap tak bisa menunjukkan persis kalimat dalam artikel yang dianggapnya mencemarkan nama baik.
Ramos mengajukan banding. Tapi, majelis hakim banding juga menyatakan hal sama dan menganggap Ramos tak memahami pasal-pasal fitnah secara baik.
Artikel yang menjadi pangkal masalah itu diterbitkan Capital Gazette pada Juli 2011 dengan judul “Jarrod Wants to Be Your Friend” (Jarrod Ingin Menjadi Temanmu), dan berisi rincian pelecehan terhadap seseorang.
Menurut artikel itu, Ramos mengirim permintaan pertemanan Facebook kepada teman sekelasnya ketika masih di sekolah menengah. Melalui media sosial itu ia kerap mengirimkan pesan pelecehan seksual.
Pelecehan berlanjut selama hampir satu tahun. Dia mengaku bersalah pada Juli 2011 karena pelecehan dan dijatuhi hukuman 18 bulan masa percobaan, yang diawasi dan diperintahkan untuk menghadiri konseling.
Masih menurut artikel itu, Ramos tidak memiliki sejarah kriminal sebelumnya. Dia memiliki gelar dalam bidang teknik komputer dan pada saat itu telah bekerja selama enam tahun untuk biro statistik tenaga kerja AS.
"Jarrod Ramos memiliki sejarah panjang untuk marah dan melakukan tindakan burtal terhadap koran The Capital," kata Tom Marquardt, mantan editor eksekutif dan penerbit di Capital Gazette.
“Suatu waktu, saya pernah mengatakan kepada pengacara saya, bahwa orang ini (Ramos) akan datang dan menembak kami. Ternyata itu benar.”
Para Korban
Kamis larut malam, orang yang tewas diidentifikasi sebagai Gerald Fischman (61), editor halaman editorial ruang berita; Rob Hiaasen (59), seorang editor dan kolumnis; John McNamara (56), reporter olahraga dan editor untuk koran mingguan lokal; Wendi Winters (65), reporter berita lokal dan kolumnis komunitas; dan Rebecca Smith, seorang asisten penjualan.
Dalam wawancara telepon pada hari Kamis, penulis Carl Hiaasen menegaskan bahwa saudaranya, Rob, adalah salah satu dari mereka yang tewas di ruang berita.
Carl Hiaasen—kolumnis The Miami Herald—mengatakan dia tidak memiliki informasi tentang apa yang telah terjadi, tetapi mengatakan keluarganya "hancur setelah kematian Rob Hiaasen”.
“Dia mendedikasikan hidupnya untuk jurnalisme. Ia menghabiskan seluruh hidupnya sebagai seorang jurnalis, ”katanya.
Sementara Presiden Donald Trump melalui Twitter, menyatakan turut berduka cita. "Doa saya bersama para korban dan keluarga mereka," katanya.
Juru bicaranya, Sarah Huckabee Sanders, juga menuliskan, "Menutuk tindak jahat kekerasan di Capital Gazette. Serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap orang Amerika.”
Sedangkan komunitas jurnalis di Maryland juga mengutuk aksi Ramos tersebut. Mereka menilai, segala perkara jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui saluran formal, bukan kekerasan.
"The Capital, seperti semua surat kabar, bisa membuat setiap orang marah setiap hari," tulis Marquardt, jurnalis di Maryland.
“Pada era saya, orang-orang yang marah dan mau memprotes artikel, pasti menulis surat pembaca kepada editor. Tapi hari ini, orang meluapkan amarah melalui laras senjata. Setiap jurnalis pasti terancam keselamatannya, tapi kami mengabaikannya demi kepentingan publik.”
Bukan Akhir Sejarah
Capital Gazette dalam dunia jurnalistik AS memunyai sejarah panjang. “Awalnya pada tahun 1700-an, dan mereka mampu berkembang sehingga menerbitkan ‘The Capital’, koran sore yang sangat terkenal pada 1884,” kata Steve Gunn, mantan editor.
Sebelum tahun 1968, seluruh penerbitan Capital Gazette dikuasai oleh keluarga. Tapi setelahnya, semua penerbitan dibeli Philip Merrill—mantan diplomat AS dan pejabat NATO—sehingga mampu melakukan ekspansi ke banyak bentuk bisnis.
Merrill sendiri memimpin semua bisnis itu sampai kematiannya dengan bunuh diri pada tahun 2006.
“Merrill yang melakukan reformasi di The Capital Gazette, dari koran lokal menjadi nasional. The Capital menjadi terkenal pada tahun 1991, setelah serangkaian artikel tentang perpeloncoan dan pelecehan seksual di akademi angkatan laut AS,” kata Marquardt, mantan editor.
Selain itu, Merrill juga memunyai kebijakan untuk memberikan kesempatan bagi para lulusan ilmu Jurnalisme maupun orang yang ingin bejalar jurnalistik untuk magang.
“Banyak dari peserta magang kami dulu menjadi jurnalis-jurnalis hebat, bertanggung jawab, dan lantas bekerja untuk media kesohor lain, termasuk The New York Times,” ungkapnya.
Ketika era digital datang medio 2000-an, terus Marquardt, surat kabar Capital Gazette terkena imbas. Staf edisi cetak yang semula 250 orang, menyusut dan hanya menyisakan 20 orang. Sementara lainnya, dialihtugaskan ke laman daring.
"Semua orang yang tersisa di sana terjebak dengan profesi mereka, karena mereka menyukai apa yang dilakukan," kata Marquardt. “Mati seperti ini adalah tragedi yang tidak bisa kamu pahami.”
Setelah dibeli oleh grup Baltimore Sun Media pada tahun 2014, perusahaan pindah ke gedung baru dan mulai mereorganisasi bisnis media massa dengan menitik beratkan edisi daring.
***
Kamis sore, pukul 18.00, tiga helikopter berputar-putar di gedung tempat markas Capital Gazette. Sirine mobil-mobil kepolisian meraung-raung. Jalanan akses ke gedung itu sudah diblokir. Polisi membuat parimiter pertahanan.
“Besok (Jumat; 29/6) edisi cetak kami akan tetap terbit,” demikian informasi yang tertera pada laman daring Capital Gazette.
Kamis malam, sekitar pukul 21.00, beberapa wartawan yang lelah dan seorang fotografer Capital Gazette mengatasi rasa trauma mereka dan langsung bekerja menyiapkan edisi cetak. Mereka bekerja di seberang gedung redaksi.
"Surat kabar kami adalah salah satu surat kabar tertua di AS," katanya. "Ini adalah surat kabar nyata dan seperti setiap surat kabar, itu adalah keluarga," kata Joshua McKerrow, seorang fotografer, sembari menangis.
“Kami akan berada di sini besok. Kami tidak ke mana-mana.”
https://www.suara.com/news/2018/06/29/143827/penembakan-massal-di-koran-tertua-as-5-jurnalis-meninggal-duniaBagikan Berita Ini
0 Response to "Penembakan Massal di Koran Tertua AS, 5 Jurnalis Meninggal Dunia"
Post a Comment